Coba Cari

21 November 2007

Refleksi - SANG GURU


“Bayangkan bahwa semua orang di dunia adalah orang-orang yang telah memperoleh pencerahan,” demikian kata Budha, “Mereka semua adalah gurumu. Setiap orang melakukan apa yang terbaik untuk membantumu belajar mengenai kesabaran, kebijaksanaan yang sempurna, belarasa yang sejati.”

Apakah gampang menerapkan ajaran Budha itu? Siapkah aku bahwa antrian panjang orang-orang di depan loket adalah guru-kesabaran buatku? Dan mereka yang mencerca aku habis-habisan sedang membuka mataku terhadap kebijaksanaan sejati? Apakah aku membutuhkan orang yang asing untuk mengajariku tentang belarasa?

“Apa pun yang terjadi adalah gurumu,” demikian pengamatan Polly Berrien Berends, seorang konselor. “Rahasianya ialah belajar duduk di kaki kehidupanmu untuk diajar,” demikian imbuhnya.

Jesus adalah guru agung. Digunakan-Nya kisah, perumpamaan dan pertanyaan-pertanyaan sulit untuk membawa para penyimak-Nya lebih dekat kepada Kebijaksanaan. Secara-tidak-langsung adalah kekhasan-Nya dalam mengajar.

Filosof Cina, Lau-tzu, adalah juga guru kebijaksanaan. Ia menunjukkan hormat mendalam kepada misteri. Dalam Hua Hu Ching, ia menulis: “Kebenaran tertinggi tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Karena itu guru sejati tidak akan mengatakan apa-apa. Dia hanya memberikan diri dalam layanan, dan tidak pernah diliputi kecemasan.”

Pembimbing yang terbaik dalam jalan rohani adalah mereka yang mengajar dengan seluruh dirinya. Itulah sebabnya dalam salah satu kisah Hasidic dikisahkan bagaimana seorang murid datang kepada seorang rabbi, bukan untuk mendengarnya menyampaikan kata-kata pengajaran, tetapi hanya untuk dengan seksama memperhatikan bagaimana dia menalikan tali-sandalnya.

David A. Cooper, seorang rabbi dan pembimbing retret, mengatakan: “Pada akhirnya setiap orang adalah guru kita, dalam satu atau lain hal. Anak adalah guru kita. Demikian juga teman-teman, keluarga, bahkan orang asing yang kita jumpai di jalanan. Setiap peristiwa adalah tantangan; suatu ajaran tersembunyi selalu ada di dalamnya. Setiap kilatan pikiran senantiasa mengajarkan sesuatu tentang diri kita –kalau saja kita siap untuk mendengarkan.”

Kurikulum pembinaan hidup rohani kita mencakup semua hal, tetapi sangat praktis pula. “Mata-pelajaran-baru” bisa diberikan sewaktu-waktu. Marilyn Barret, seorang terapis, melukiskan kebunnya sebagai “ruang kelas informal, semacam laborat –tempat aku bisa belajar hal-hal pokok kehidupan yang kadang dilewatkan dalam pendidikan formal-ku.”

Di tempat-tempat orang bisa berkumpul; kelompok studi, komunitas baca, kelompok diskusi film, dan pendidikan informal sedang menjamur sekarang ini. Hanya sedikit dari kelompok kumpul-kumpul ini yang mempunyai guru tetap. Menarik apa yang dikatakan oleh Alice O. Howell, penulis aliran Jung: “Membuat lingkaran adalah cara simbolik untuk mengatakan bahwa guru yang sebenarnya ada di tengah-tengah kita, tetapi ia tidak kelihatan.” Kerja sama dalam membina jiwa, di mana setiap orang sebagai guru, adalah petualangan rohani pada zaman ini.

Penting untuk diperhatkan bahwa pembinaan jiwa semacam itu mesti terus-menerus berlangsung sepanjang hidup. “Setiap tahap kehidupan selalu memiliki sesuatu untuk diajarkan kepada kita,” demikian dikatakan oleh Joan Chittister, seorang suster Benediktin, “Panenan pada masa muda adalah prestasi; pada tengah umur adalah persepsi; pada usia lanjut adalah kebijaksanaan.”

Guru selalu ada di sekitar kita. Perhatikan dan dengarkan mereka, dengan mengingat apa yang dikatakan oleh Ben Azzai, seorang guru Yahudi dari abad kedua: “Jangan anggap enteng siapa pun. Jangan anggap remeh apa pun. Karena setiap orang memiliki waktu-nya sendiri dan setiap hal memiliki tempat-nya sendiri.”



Disadur dari: Frederic & Mary Ann Brussat, Spiritual Literacy, New York: Scribner, 1996, hal 432-33.

1 komentar:

Seto Parama Artho mengatakan...

inspiratif Bro. aduh, saya masih harus belajar banyak untuk rendah hati :-) - less is more -